Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom
Jambinarasi-Politik daerah seringkali menjadi arena pertempuran tanpa belas kasih, di mana nilai-nilai moral dan etika tersingkir oleh ambisi kekuasaan yang tak terkendali. Seperti organisme yang terus berkembang dan beradaptasi, politik daerah sering kali mempraktekkan strategi-strategi yang tak mengenal batas demi mencapai tujuan akhir kekuasaan. Fenomena ini bukanlah hal baru, bahkan telah lama digambarkan oleh pemikir politik legendaris, Niccolò Machiavelli, dalam karyanya Il Principe. Machiavelli menggambarkan bagaimana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan melalui cara-cara yang tidak selalu sesuai dengan norma-norma moral, asalkan hasil akhir dapat membenarkan segala cara.
Dalam konteks politik daerah, prinsip Machiavellian ini tampak semakin relevan. Peta kekuasaan di berbagai daerah Indonesia menunjukkan bagaimana praktik-praktik bengis dan immoral menjadi strategi utama para pelaku politik. Dari manipulasi opini publik, kooptasi elite lokal, hingga pemborongan dukungan partai, semuanya dilakukan dengan satu tujuan, membangun dan mempertahankan organisme politik yang kokoh. Di balik wajah ramah dan retorika populis yang sering ditampilkan, tersembunyi praktik-praktik yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh bangsa ini.
Namun, jika kita menengok ke masa lalu, khususnya ke sistem politik ketimuran, ada sebuah ironi yang mencolok. Di tanah Melayu, politik sejatinya dibangun di atas fondasi nilai-nilai ketimuran yang luhur menghormati adat, menjunjung tinggi martabat, dan memelihara keharmonisan sosial. Nilai-nilai ini bukan sekadar simbol, melainkan pedoman hidup yang seharusnya tercermin dalam setiap tindakan politik. Tetapi kenyataannya, nilai-nilai ini seringkali terabaikan ketika ambisi kekuasaan mengambil alih. Politik di tanah Melayu yang dulunya berakar pada kebajikan dan kesantunan, kini tercemar oleh praktik-praktik kotor yang hanya mementingkan kekuasaan semata.
Machiavelli mungkin telah lama wafat, tetapi ajarannya terus hidup dan berakar dalam praktek politik modern, termasuk di daerah. Sementara itu, nilai-nilai ketimuran yang seharusnya menjadi benteng moralitas, perlahan-lahan terkikis oleh pragmatisme dan ambisi yang buta. Jika kita terus membiarkan politik daerah berkembang menjadi organisme yang bengis dan immoral, maka kita tidak hanya mengkhianati warisan budaya kita, tetapi juga merusak masa depan bangsa ini.
Untuk itu, sudah saatnya kita meninjau kembali nilai-nilai yang menjadi dasar politik di daerah. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin meneruskan tradisi politik yang bengis dan tak bermoral demi kekuasaan, ataukah kita ingin kembali ke nilai-nilai ketimuran yang menjunjung tinggi martabat dan keadilan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan kita, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.